Jumat, 16 April 2010

Tugas tentang Riwayat Hidup Filsuf

Rusli Marzuki Imajinasiku adalah biara dan aku adalah biarawannya. Ungkapan dari John Keats yang dikutip sang tokoh ini dalam sebuah esainya amat tepat menjelaskan proses kreatifnya sebagai seorang penyair. Memang begitulah seorang Rusli Marzuki Saria. Ia seakan ditakdirkan untuk jadi seorang penyair yang menempatkan imajinasi sebagai ranah yang amat luas untuk melahirkan karya-karya puisinya. Rusli Marzuki Saria yang akrab disapa Papa ini dikenal sebagai seorang sastrawan-budayawan yang karya-karyanya tak bisa dilepaskan dari khazanah kesusastraan Indonesia dalam 50 tahun terakhir. Puisi-puisinya dimuat dalam berbagai media yang ada di Indonesia sejak tahun 1950-an. Ia pun sering tampil dalam berbagai pentas pembacaan puisi di berbabagai kota di tanah air. Pada 22 Juni 1981, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta, Papa membacakan 65 pusinya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Iven pembacaan dan diskusi puisi ini menjadi momentum penting dalam riwayat kepenyairan Papa sebagai seorang sastrawan nasional yang tinggal di daerah. Dalam ajang inilah para sastrawan dan kritikus sastra nasional mengakui keberadaan Rusli sebagai seorang penyair. Rusli lahir pada tanggal 26 Januari 1936 di Nagari Kamang Mudik, kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Ayahnya bernama Marzuki—seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi dan pembuatan sadah. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri, Sarianun—ibunya Rusli adalah istrinya yang ketujuh. Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Rusli memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool). Pada tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Rusli kemudian dibawa tinggal dii Labuah Silang Payakumbuh. Di kota ini Marzuki meneruskan usaha bendi dan pembuatan sadah. Di kota ini pula Rusli meneruskan sekolahnya yakni ke SD Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar Rusli melanjutkan studinya ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa. Pada tahun 1953, Marzuki—ayahandanya Rusli meninggal dunia. Kenyataan ini membatalkan cita-cita Rusli untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Berbekal ijazah SMP, Rusli bekerja di Kepolisian yakni di Kantor Koordinator 106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Ia bertugas mengurusi surat masuk dan keluar. Di samping bekerja pada kantor kepolisian di pagi hari, pada sore harinya, Rusli melanjutkan pendidikannya pada SMA Sore Sendiakala Bukittinggi dan ia berhasil meraih ijazah SMA-nya dengan jurusan Bahasa tiga tahun kemudian. Semenjak sekolah rakyat, minat Rusli pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Cerita-cerita rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun Tulang sudah mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbana dan Di Bawah Lindungan Ka’bah-nya Buya Hamka. Pada masa SMA makin beragamlah karya-karya yang dibaca Rusli. Mulai dari Chairil Anwar, Sjahrir, Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore, John Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak, bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi puisi-puisi Rusli. Tak hanya menyukai bacaan sastra, Rusli juga banyak membaca karya-karya pemikiran dari berbagai aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis. Bacaan-bacaannya itu menjadikan Rusli sebagai seorang mampu berpikir independen. Ia tak terjebak pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa hal dari liberalisme dan marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam sebagai pijakan hidupnya. Namun ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit dan fanatis, tetapi ia menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang pada optimisme, kreativitas, intelektualitas dan keindahan. Dengan bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Rusli untuk menulis puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku Pergi Suluk dimuat di surat kabar Nyata yang terbit di Bukittinggi. Pada tahun yang sama, Rusli bersama AA Navis, Lo Fai Hap dan Nasrul Siddik dipercaya mengisi Ruangan Sastra di RRI Bukittinggi. Pada tahun 1956 Rusli lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Rusli di Kepolisian berakhir karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan Pemerintah Pusat. Keterlibatannya dalam PRRI memaksa Rusli berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Rusli. Di tengah perang berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat, dirasakan Rusli dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada Ratap Ada Nyanyi. Usai PRRI, meski ada peluang, Rusli tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961, Rusli menetap di Padang. Ia mangkal di Pasar Mudik dan Pasar Hilir sebagai pedagang jatah atau pedagang perantara.. Banyak jenis dagangan yang dijualnya, di antaranya adalah batik. Pada 4 Mei 1963, di kampung halamannya, Rusli menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Rusli dikaruniai empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis. Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang. Pada tahun 1969, Rusli mengawali karirnya sebagai wartawan. Rusli bergabung dengan harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Rusli bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Rusli mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Rusli pensiun dari Haluan pada tahun 1999. Tetapi sampai kini ia tetap punya rubrik di harian ini yakni rubrik Parewa Sato Sakaki. Jurnalis yang Menyair Tetap meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Rusli terpilih menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Rusli tetap menulis puisi. Di antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai Bisa Tenggelam. Aktivitas Rusli sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan. Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB). Pada tahun tahun 1995 ia ditunjuk sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang tetap dipercayakan padanya sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat yang telah ia kunjungi, baik dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun 1977 ia diminta meliput latihan perang antara Angkatan Laut Indonesia dan Austarlia di Great Barrier Reef (Coral Sea), Australia bagian timur. Pada Oktober 1984, ia juga diundang Kedubes Jerman untuk meliput Farnkfurt Books Fair. Di negara ini ia melihat hal yang sangat mengagumkan yakni dukungan penuh Pemerintahan Jerman untuk dunia pendidikan. Sebagai sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Rusli. Ia sering diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui karyanya Sembilu Darah lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Tahun 1997. Sebagai seorang penyair, Rusli mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di Indonesia. Puisi-pusinya amat kuat berpijak pada tradisi lokal yang berangkat dari tradisi Minangkabau. Seperti ditulis oleh Dasril Ahmad dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1986, puisi-puisi Rusli banyak dipengaruhi cerita-cerita kaba baik dari segi struktur, persamaan latar dan penokohan maupun unsur musikalitas atau iramanya. Makanya, nuansa lokal keminangan amat terasa dalam banyak puisi Rusli. Amat jarang penyair yang memilih lokalitas sebagai pijakan inspirasi puisi, namun Rusli berani melakukannya. Puisi-puisi Rusli adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Rusli juga ada yang bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat dan tradisi maupun krtitik sosial dan politik. Puisinya berjudul Putri Bunga Karang adalah gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat kuat. Pusi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang Kotaku. Sekarang, di usianya yang sudah 71 tahun, Papa Rusli masih kelihatan segar dan kuat. Badannya masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan keren dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya. Sehari-harinya masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya. Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi maraton hingga jam tujuh pagi. Namun sebagai seorang penyair, mantan polisi, mantan pejuang, mantan politisi, wartawan dan budayawan, banyak pergulatan hidup baik duka maupun suka yang telah dilaluinya. Membaca sosok Rusli adalah membaca riwayat panjang perjalanan hidup seorang anak manusia dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya. Sebagaimana ditulisnya dalam Monolog dalam Renungan, membaca puisi adalah membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Rusli, berarti membaca sejarah hidupnya. Sebagai seorang penyair, wartawan, pejuang dan politisi, Rusli adalah seorang idealis yang berani menyatakan kebenaran yang dirasakannya. Makanya untuk menggambarkan idealisme Rusli, amatlah tepat yang dikatakan Umar bin Khatab, “Ajarilah anakmu sastra, agar ia menjadi pemberani.” Narasi oleh Abel Tasman/DKSB Komentar : Rusli Marzuki ialah seorang sastrawan-budayawan yang karya-karyanya tak bisa dilepaskan dari khazanah kesusastraan Indonesia dalam 50 tahun terakhir. Puisi-puisinya dimuat dalam berbagai media yang ada di Indonesia sejak tahun 1950-an. Beliau merupakan salah satu orang yang tabah karena beliau telah ditinggal oleh kedua orang tuanya. Walau telah ditinggal oleh kedua orang tuanya beliau tetap meneruskan apa yang dicita-citakannya.

Tugas Riset Akuntansi tentang IFRS

3 ways in which IFRS is a change for the better Nama Kelompok : - Adif Sudariyanto (20207033) - Edward (20207376) - Saryadi (21207000) 3 ways in which IFRS is a change for the better The basic concepts underlying preparation of financial statements will undergo significant change upon implementation of International Financial Reporting Standards (IFRS) in India. There are three key aspects that run through each principle laid down in IFRS: substance over form, use of fair value, and recognizing time value or time cost of money. These three items need to be understood carefully. Indian GAAP (generally accepted accounting principles), like any other GAAP, also recognizes the importance of substance over form. Accounting Standard 1 (AS-1) on “Disclosure of Accounting Policies” states that substance rather than form should be the guiding principle in selection and application of accounting policies. However, the true application of this principle will happen only under IFRS. That’s because IFRS is more contemporary and has prescribed the treatment for evolving issues. Also, unlike Indian GAAP, it does not recognize the concept of a legal override. Thus, IFRS will always go by the core substance of the transaction. That will mean several changes. For instance, under Indian GAAP, redeemable preference capital (shares that do not come with voting rights but which have a higher priority over ordinary shares in terms of dividend payments, and which can be redeemed at the discretion of the issuer or shareholder) has to be treated as equity. IFRS, however, will require it to be treated as debt. Based on substance of terms, instruments such as convertible debentures are likely to be shown partly under debt and partly under equity, since the embedded warrant option in such instruments will be separately identified and presented at its fair value. Contracts for supply of goods and services may get concluded (wholly or partly) as leases (and it could be financial lease as well)! IFRS will bring with it the concept of functional currency. Indian entities may need to maintain their books in US dollars and report in the same currency to the National Stock Exchange and the Bombay Stock Exchange if the dollar is determined to be the currency for the primary economic environment in which it is operating, subject to regulatory approvals. In rare circumstances, IFRS even allows users to adopt a policy contrary to IFRS principles if the management believes the treatment prescribed under IFRS would be misleading and the policy proposed to be adopted better represents the substance of the underlying transactions. These concepts are unheard of in most other GAAP frameworks. The use of fair value in measuring assets and liabilities will increase considerably upon adoption of IFRS, which mandates the use of fair value in measurement of financial instruments, employee compensation, share-based payments, and assets and liabilities acquired in a business combination, to name a few. It will allow use of fair value, as opposed to cost, in relation to property, plant and equipment, intangible assets and investment properties. The application of these fair value principles would require a company’s management to use considerable judgment in making estimates about the future, and the role of valuation experts in the preparation of financial statements would increase significantly. Thus, IFRS will be far more complex and challenging in its application compared with the existing regime of accounting standards. In the case of derivatives, held-for-trading investments and investment properties, IFRS allows gains or losses on fair valuation to be recognized in profit or loss accounts for the period. Undoubtedly, this is quite a bold move to allow even unrealized gains to be captured in profit or loss accounts. In such a situation, there will be extra onus on the management to exercise better financial discipline; otherwise, the company may end up declaring dividends out of unrealized profits. IFRS recognizes that value of money changes with time. It will either be a cost or income, but there is a difference in Rs100 of today and Rs100 two years back or three years later. Hence, IFRS requires receivables and payables, that is, financial assets and liabilities or monetary items to be reflected at current value. Thus, the value of Rs100 payable in three months will be different from Rs100 payable after 36 months. Consequent to these aspects, IFRS will focus on reflecting the working results and state of affairs of a business more on a current state basis rather than on a holistic long-term or historical cost basis. It will not place undue premium on prudence but push for recording of market gains and reflection of market-related realities over the reporting period. IFRS will allow flexibility in choosing the right accounting policy, but will also lead to enhanced disclosure requirements. Therefore, estimation efforts, subjectivity and judgment will increase manifold in preparing IFRS financial statements. And timelines and costs will also go up accordingly. That said, the benefits of IFRS are expected to far outweigh the costs and hassles. It will integrate domestic businesses with the global investor and financial community so that there is no language gap and barrier. It will enhance the global competitiveness of Indian businesses as well as finance professionals. And IFRS-literate people will fuel the next wave of the knowledge processing outsourcing boom. kesimpulan kelompok : Ada tiga aspek kunci yang berjalan melalui setiap prinsip yang ditetapkan dalam IFRS: substansi atas bentuk, penggunaan nilai wajar, dan nilai waktu atau waktu mengakui biaya uang dimana ketiga aspek ini harus dipahami dengan sangat hati-hati Sebagai contoh, di bawah India GAAP, modal preferensi diuangkan (saham yang tidak datang dengan hak suara tetapi yang memiliki prioritas lebih tinggi di atas saham biasa dalam hal pembayaran dividen, dan yang dapat ditebus pada kebijaksanaan emiten atau pemegang saham) harus diperlakukan sebagai ekuitas. IFRS mengakui bahwa perubahan nilai uang dengan waktu. Ini baik akan menjadi biaya atau pendapatan, tetapi ada perbedaan dalam Rs100 Rs100 hari ini dan dua tahun ke belakang atau tiga tahun kemudian. Oleh karena itu, IFRS membutuhkan piutang dan hutang, yaitu, aset keuangan dan kewajiban atau item moneter yang akan tercermin pada nilai saat ini. Dengan demikian, nilai Rs100 hutang dalam tiga bulan akan berbeda dari Rs100 hutang setelah 36 bulan. manfaat IFRS diharapkan jauh lebih besar daripada biaya dan hassles. Ini akan mengintegrasikan bisnis dengan investor domestik dan komunitas keuangan global sehingga tidak ada kesenjangan bahasa dan penghalang. Hal ini akan meningkatkan daya saing global perusahaan India serta profesional keuangan. Dan orang-orang akan mengerti IFRS akan bahan bakar gelombang berikutnya outsourcing proses pengetahuan boom.