TANGGAPAN ATAS
ED PSAK 46 (REVISI 2010)
Jawaban atas Pertanyaan
A. Pengaturan mengenai Pajak Penghasilan Final
1. Komentar atas pertanyaan
a.
Ketentuan
mengenai PPh Final masih diperlukan di PSAK sehingga ada keseragaman perlakuan
akuntansi di dalam praktik, khususnya dalam hal pengakuan, pengukuran,
penyajian, dan pengungkapan.
b.
Hal
ini merujuk pada penjelasan Pasal 28 ayat 7 UU KUP 2007 “…pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim
dipakai di Indonesia ,
misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan
perundang-undangan perpajakan menentukan lain.”
2. Komentar atas paragraf 98 baris 38
a.
Penggunaan
kata “maka” di baris 38 tidak tepat karena tidak ada induk kalimat dalam
kalimat tersebut. “Apabila nilai tercatat aset atau liabilitas yang berhubungan
dengan pajak penghasilan final berbeda dari dasar pengenaan pajaknya” merupakan
anak kalimat, sedangkan “maka perbedaan tersebut tidak diakui sebagai aset atau
liabilitas pajak tangguhan” juga merupakan anak kalimat.
b.
Seharusnya
kata “maka” ini dihilangkan sehingga bunyi kalimat secara lengkap adalah “Apabila nilai
tercatat aset atau liabilitas yang berhubungan dengan pajak penghasilan final
berbeda dari dasar pengenaan pajaknya, perbedaan tersebut tidak diakui sebagai
aset atau liabilitas pajak tangguhan”. Dengan demikian, “Apabila
nilai tercatat aset atau liabilitas yang berhubungan dengan pajak penghasilan
final berbeda dari dasar pengenaan pajaknya” berfungsi sebagai anak kalimat,
sedangkan “perbedaan tersebut tidak diakui sebagai aset atau liabilitas pajak
tangguhan” menjadi induk kalimat.
3. Komentar atas paragraf 101 baris 19 dan
paragraf 102 baris 22
a.
Dalam
kata “dimuka”
seharusnya ditulis “di muka” karena kata “di” dalam kata tersebut berfungsi
sebagai kata depan, bukan awalan “di”.
b.
Untuk
membedakan kata “di” sebagai awalan atau pun kata depan, kita bisa melihatnya
dalam kalimat pasif dan aktif. Misalnya,
1)
Kata
“di” sebagai awalan
▪ “dibebankan”
(pasif) bisa diubah menjadi “membebankan” (aktif),
▪ “dibayar” (pasif)
bisa diubah menjadi “membayar” (aktif)
▪ “diakui” (pasif)
bisa diubah menjadi “mengakui” (aktif), dan
▪ “disajikan” (pasif)
bisa diubah menjadi “menyajikan” (aktif).
2)
Kata
“di” sebagai kata depan
▪ “didepan” tidak
bisa diubah menjadi “medepan” atau “mendepan”
▪ “dimuka” tidak bisa
diubah menjadi “memuka”
▪ “diatas” tidak bisa diubah menjadi “meatas” atau “mengatas”
4. Komentar atas paragraf 101 baris 20
a. Kata “dan” seharusnya
diganti dengan “atau”.
b. Jika kata “dan” dipakai,
akun Pajak Dibayar di Muka dan akun Pajak yang Masih Harus Dibayar harus
dipakai bersamaan. Jika digunakan kata “atau”, entitas bisa memilih akun yang sesuai.
c.
Dalam
hal beban pajak < PPh Final terutang, entitas akan menjurnal selisihnya
sbb.:
Db. Beban pajak kini xxxx
Kr. Pajak yang Masih Harus Dibayar xxxx
d.
Dalam
hal beban pajak > PPh Final terutang, entitas akan menjurnal selisihnya
sbb.:
Db. Pajak Dibayar di
Muka xxxx
Kr. Beban pajak kini xxxx
B.
Pengaturan
mengenai perlakuan terhadap Surat Ketetapan Pajak
1. Isi paragraf 103
“Jumlah tambahan
pokok dan denda pajak yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus
dibebankan sebagai pendapatan atau beban lain-lain pada Laporan Laba Rugi periode
berjalan, kecuali apabila diajukan keberatan dan atau banding. Jumlah tambahan
pokok pajak dan denda yang ditetapkan dengan SKP ditangguhkan pembebanannya
sepanjang memenuhi kriteria pengakuan aset. Apabila terdapat kesalahan maka
perlakuan akuntansinya mengacu pada PSAK 25 (revisi 2010): Kebijakan Akuntansi,
Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan”.
2. Komentar atas penggunaan kata “denda”
a.
Penggunaan
kata “denda” dalam baris 29 dan 34 kurang tepat karena di dalam UU KUP sanksi
administrasi pajak yang ada di dalam SKP terdiri dari denda, kenaikan, dan
bunga. Seharusnya dipakai istilah “sanksi administrasi”, bukan “denda”
b.
Ketiga
sanksi yang ada di dalam SKP tersebut terangkum sbb.:
Rincian Sanksi Administrasi
|
Pasal Terkait dlm UU KUP
|
A. Denda
|
|
1. Denda karena terlambat melaporkan SPT
|
7
|
2. Denda
150% dalam pembetulan SPT
|
8 ayat 3
|
3. Denda
2% dari DPP
|
14 ayat 1 huruf d, e, & f dan
ayat 4
|
4. Denda 200% untuk kealpaan pertama kali yang
berakibat kerugian negara
|
13A
|
B. Bunga
|
|
1. Bunga
2% karena pembetulan SPT
|
8 ayat 2 dan 2a
|
2. Bunga
2% karena terlambat setor pajak
|
9 ayat 2a &
2b
|
3. Bunga
2% dari pajak kurang bayar dalam SKPKB
|
13 ayat 1 huruf a & e dan ayat 2
|
4. Bunga 48% karena ada pidana fiskal setelah
daluwarsa 5 tahun lewat
|
13 ayat 5
|
5. Bunga 2% per bulan dalam penerbitan STP
|
Pasal 14 ayat 1 huruf a & b dan ayat 3
|
6. Bunga 2% per bulan dari PPN yang telah
direstitusi
|
14 ayat 1 huruf
g & ayat 5
|
7. Bunga 2% per bulan dari utang pajak yang
belum dilunasi
|
19 ayat 1-3
|
C. Kenaikan
|
|
1. Kenaikan
50% karena pembetulan SPT
|
8 ayat 4 & 5
|
2. Kenaikan
50% dari PPh kurang bayar dalam SKPKB
|
13 ayat 1 huruf b & d dan ayat 3 huruf a
|
3. Kenaikan 100% dari PPh kurang bayar dalam
SKPKB
|
13 ayat 1 huruf b & d dan ayat 3 huruf b
|
4. Kenaikan 100% dari PPN kurang bayar dalam
SKPKB
|
13 ayat 1 huruf b, c & d dan ayat 3 huruf c
|
5. Kenaikan
100% dalam SKPKBT
|
15
|
6. Kenaikan
100% dalam restitusi pendahuluan
|
17C & 17D
|
1. Pidana
Fiskal Karena Kealpaan
|
38
|
2. Pidana
Fiskal Karena Kesengajaan
|
39 ayat 1 UU
|
3. Pidana Fiskal Karena Pengulangan Tindak
Pidana
|
39 ayat 2
|
4. Pidana Fiskal Karena Percobaan Melakukan
Tindak Pidana
|
39 ayat 3
|
5. Pidana Fiskal Karena Penerbitan Faktur
Pajak
|
39A
|
6. Pidana
Fiskal untuk Pejabat yang Tidak
Memenuhi Kewajiban Merahasiakan
|
41
|
7. Pidana
Fiskal untuk Orang yang Tidak Memberi Keterangan
|
41A
|
8. Pidana Fiskal Karena
Menghalangi/Mempersulit Penyidikan Pajak
|
41B
|
9. Pidana
Fiskal Karena Kewajiban Memberikan Data/Informasi Perpajakan Tidak Terpenuhi
|
35A & 41C
|
3. Komentar atas penggunaan
kata “Surat Ketetapan Pajak (SKP)”
a.
Di
dalam paragraf 103 perlu diatur juga tentang perlakuan akuntansi untuk “Surat
Tagihan Pajak (STP) yang sama dengan perlakuan SKP.
b.
Di
dalam proses penagihan pajak, selain SKP, terkadang kantor pajak juga menerbitkan
Surat Tagihan Pajak. Penerbitan STP tersebut bisa bersamaan dengan SKP atau
secara terpisah.
c.
Jika
di dalam proses sengketa atas SKP dikenal dengan keberatan dan atau banding, atas
penerbitan STP, wajib pajak juga bisa menempuh prosedur yang berurutan berikut
ini:
1)
Permohonan
penghapusan/pengurangan sanksi sesuai Pasal 36 UU KUP; dan atau
2)
Gugatan
ke Pengadilan Pajak sesuai Pasal 23 UU KUP.
d.
Dalam
hal wajib pajak mengajukan permohonan penghapusan/pengurangan sanksi ke kantor
pajak, lalu gugatan ke pengadilan pajak, pembebanan sanksi menjadi tertunda
sampai ada keputusan yang bersifat tetap.
4. Komentar atas penggunaan
kata “maka” di baris 36
Seharusnya
kata “maka” dihilangkan sehingga kalimat secara keseluruhan berbunyi “Apabila terdapat
kesalahan, perlakuan akuntansinya mengacu pada PSAK 25 (revisi 2010): Kebijakan
Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan”.
C. Ketentuan mengenai unused tax credit
1. Kredit pajak hanya bisa diklaim pada tahun
dilakukannya pemotongan/pemungutan. Hal ini diatur di dalam Pasal 20 UU PPh.
2. Pasal 20 UU PPh di antaranya mengatur sbb.:
a.
Pajak
yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib
Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain,
serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
b.
Pelunasan
pajak tersebut dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
c.
Pelunasan
pajak tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali
untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final
3. Karena kredit pajak tersebut tidak bisa
lagi dimanfaatkan di tahun pajak berikutnya, otomatis kriteria pengakuan aset
terkait dengan adanya “future economic benefit” untuk unused tax credit tersebut menjadi tidak terpenuhi. Dengan
demikian, kami tidak setuju atas pengakuan aset pajak tangguhan atas unused tax
credit tersebut. Alasan pertama bahwa
perpajakan Indonesia
tidak menganut prinsip tersebut, alasan kedua adalah dikhawatirkan informasi
laporan keuangan yang dihasilkan dapat menyesatkan, dan alasan terakhir bahwa
stakeholder Direktorat Jenderal Pajak akan pada apriori terhadap ED PSAK 46
(Revisi 2010).
D.
Contoh-contoh dalam ED PSAK 46 (Revisi 2010)
1. Di dalam terminologi pajak, kedua istilah
“perbedaan temporer kena pajak” (taxable
temporary difference) dan “perbedaan temporer dapat dikurangkan” (deductible temporary difference) kurang
lazim dikenal di Indonesia, baik di dalam peraturan pajak maupun praktik
perpajakan. Sebagai gantinya, para praktisi pajak yang juga terlibat menekuni
akuntansi sering menggunakan istilah koreksi positif dan koreksi negatif.
Koreksi fiskal tersebut terbagi menjadi beda tetap dan beda waktu.
2. Tabel berikut menggambarkan koreksi fiskal
saat penyusunan Surat Pemberitahuan (SPT) dan dampak pajak tangguhannya jika
koreksi fiskal tersebut terkait dengan perbedaan temporer :
Koreksi fiskal
|
Jenis akun yang dikoreksi
|
Perbandingan
nilai tercatat di lap. laba rugi
|
Pajak Tangguhan
|
Istilah yang digunakan dalam
PSAK No. 46
|
Koreksi positif
|
Penghasilan
|
Akuntansi < Pajak
|
Aset pajak tangguhan
|
Perbedaan termporer dapat dikurangkan
|
Biaya
|
Akuntansi > Pajak
|
Aset
pajak tangguhan
|
Perbedaan
termporer dapat dikurangkan
|
|
Koreksi negatif
|
Penghasilan
|
Akuntansi > Pajak
|
Liabilitas pajak tangguhan
|
Perbedaan temporer kena pajak
|
Biaya
|
Akuntansi < Pajak
|
Liabilitas
pajak tangguhan
|
Perbedaan
temporer kena pajak
|
3. Ilustrasi di dalam PSAK perlu menambahkan
terminologi yang lazim digunakan di dalam praktik perpajakan di Indonesia
atau menggunakan tabel yang menjembatani penggunaan terminologi PSAK sesuai
IFRS dan terminologi pajak dalam praktik. Tabel pada butir 2 merupakan contoh
yang bisa menjembatani antara terminologi pajak dan akuntansi. Usulan ini disampaikan agar salah satu
stakeholder, yaitu Direkrtorat Jenderal Pajak, akan terbuka terhadap ED PSAK 46
(Revisi 2010).
4. Komentar per paragraf
No
|
Halaman & Paragraf
|
Isi paragraf
|
Komentar
|
1.
|
h.50 p.02
|
Pendapatan dari
penjualan barang yang diperhitungkan dalam laba akuntansi ketika barang
dikirim tapi diperhitungkan dalam laba kena pajak pada saat kas diterima …
|
§ Sesuai dengan Pasal 28 UU KUP, pajak juga
mengakui pendapatan berdasarkan standar akuntansi yang berlaku dan metode
pengakuannya bisa berbasis akrual atau pun kas.
§ Di dalam praktik perbedaan perlakuan
seperti ini jarang terjadi karena di dalam perpajakan pendapatan dari
penjualan barang juga diakui ketika barang dikirim.
§ Dengan demikian, transaksi ini tidak
menimbulkan perbedaan temporer.
|
2.
|
h.50 p.04
|
Biaya
pengembangan sudah dikapitalisasi dan akan diamortisasi terhadap laporan laba
rugi komprehensif tapi dikurangkan dalam menentukan laba kena pajak pada
periode terjadinya.
|
§ Biaya pengembangan juga bisa
dikapitalisasi dalam pajak sepanjang memenuhi kriteria Pasal 11A UUPPh.
§ Di dalam Pasal 11A UUPPh di antara diatur
bahwa pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan harus dikapitalisasi dan
bebannya dilakukan melalui amortisasi selama 4, 8, 16, atau 20 tahun sesuai
dengan peraturan.
§ Jadi, permasalahannya bukan terletak pada
secara akuntansi biaya tersebut dikapitalisasi, sedangkan secara fiskal biaya
tersebut dibebankan pada tahun berjalan. Akan tetapi, permasalahannya pada
masa manfaat dan metode amortisasinya
|
3.
|
h.55 p.03
|
Biaya persediaan
yang terjual sebelum akhir periode pelaporan dikurangkan dalam penghitungan
laba akuntansi apabila barang atau jasa telah diberikan, tetapi dikurangkan
dalam penghitungan laba kena pajak saat kas telah diterima
|
Lihat komentar
no. 1 di atas
|
Ket: h. = halaman; p.
= paragraf; dan b. = baris
E.
Ketentuan Transisi dan Tanggal Efektif
Kami setuju dengan
ketentuan transisi dan tanggal efektif ED PSAK 46 (revisi 2010): Pajak
Penghasilan
SPT Konsolidasi di Paragraf 10
1. Di dalam ketentuan perpajakan Indonesia
tidak ada (tidak dikenal) SPT konsolidasi. Ini mengacu pada Pasal 3 ayat (1)
UU KUP 2007 yang di antaranya mengatur bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi
Surat Pemberitahuan, menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pajak.
2. Perbandingan perbedaan
temporer akan lebih praktis dan aplikatif dilakukan dalam laporan keuangan
konsolidasian jika perbedaan temporer tersebut mengacu pada laporan keuangan
masing-masing entitas.
3. Jika dimungkinkan,
standar yang mengatur tentang SPT konsolidasi bisa dihilangkan. Alasan pertama bahwa perpajakan Indonesia
tidak menganut prinsip tersebut, alasan kedua adalah dikhawatirkan informasi
laporan keuangan yang dihasilkan dapat menyesatkan, dan alasan terakhir bahwa
stakeholder Direktorat Jenderal Pajak akan pada apriori terhadap ED PSAK 46
(Revisi 2010).
Penggunaan
Tata Bahasa Indonesia
1. Penggunaan kata “maka” yang tidak tepat
dalam penerapan kalimat bersyarat dan beberapa kalimat majemuk seperti contoh
di bawah ini:
§ Contoh 1:
“Apabila manfaat
ekonomi tersebut tidak akan dikenakan pajak, maka dasar pengenaan pajak aset tersebut sama dengan jumlah
tercatat aset”. Kalimat tersebut tidak
bisa ditukar menjadi ”maka dasar pengenaan pajak aset tersebut sama dengan
jumlah tercatat aset, apabila manfaat ekonomi tersebut tidak akan dikenakan
pajak”.
“Apabila manfaat
ekonomi tersebut tidak akan dikenakan pajak, dasar pengenaan pajak aset tersebut
sama dengan jumlah tercatat aset”.
Kalimat tersebut bisa ditukar menjadi ”dasar pengenaan pajak aset
tersebut sama dengan jumlah tercatat aset, apabila manfaat ekonomi tersebut
tidak akan dikenakan pajak”.
§ Contoh 2:
Kalimat “Berdasarkan
kedua analisis tersebut, maka
tidak ada liabilitas pajak tangguhan” tidak bisa ditukar menjadi “Maka tidak
ada liabilitas pajak tangguhan berdasarkan kedua analisis tersebut”.
Kalimat “Berdasarkan
kedua analisis tersebut, tidak ada liabilitas pajak tangguhan” bisa ditukar
menjadi “Tidak ada liabilitas pajak tangguhan berdasarkan kedua analisis
tersebut”.
2. Tabel berikut berisi
rangkuman beberapa penggunaan kata “maka” yang kurang tepat. Untuk itu,
disarankan tim konvergensi di IAI melihat kembali terjemahan dalam ED PSAK 46
dan terjemahan ED PSAK lainnya maupun PSAK yang sudah disahkan. Komentar
perbaikan kami sajikan pada tabel di bawah ini.
No
|
Halaman, Paragraf & baris
|
Kalimat yang tertulis
|
Kalimat seharusnya
|
1.
|
h.5 p.6 b.18
|
Apabila manfaat
ekonomi tersebut tidak akan dikenakan pajak, maka dasar pengenaan pajak aset
tersebut sama dengan jumlah tercatat aset.
|
Apabila manfaat
ekonomi tersebut tidak akan dikenakan pajak, dasar pengenaan pajak aset
tersebut sama dengan jumlah tercatat aset.
|
2.
|
h.6 p.6 b.18 dan
b.25
|
Berdasarkan
kedua analisis tersebut, maka tidak ada liabilitas pajak tangguhan.
|
Berdasarkan
kedua analisis tersebut, tidak ada liabilitas pajak tangguhan.
|
3.
|
h.6 p.7 b.32
|
Dalam hal
pendapatan diterima dimuka, maka dasar pengenaan pajak yang ditimbulkan
liabilitas tersebut merupakan jumlah tercatat liabilitas
|
Dalam hal
pendapatan diterima dimuka, dasar pengenaan pajak yang ditimbulkan liabilitas
tersebut merupakan jumlah tercatat liabilitas
|
4.
|
h.8 p.9 b.7
|
Apabila dasar
pengenaan pajak aset atau liabilitas tidak begitu jelas, maka dasar pengenaan
pajak tersebut dapat ditentukan menurut prinsip dasar yang digunakan pada
Pernyataan ini
|
Apabila dasar
pengenaan pajak aset atau liabilitas tidak begitu jelas, dasar pengenaan
pajak tersebut dapat ditentukan menurut prinsip dasar yang digunakan pada
Pernyataan ini
|
5.
|
h.8 p.10 b.26
|
Dalam hal
entitas melaporkan menggunakan SPT konsolidasi, maka dasar pengenaan pajak
merujuk pada SPT Konsolidasi
|
Dalam hal
entitas melaporkan menggunakan SPT konsolidasi, dasar pengenaan pajak merujuk
pada SPT Konsolidasi
|
6.
|
h.9 p.11 b.1
|
Apabila jumlah
pajak yang telah dibayar untuk periode kini dan periode-periode sebelumnya
melebihi jumlah pajak yang terutang untuk periode-periode tersebut, maka
selisihnya diakui sebagai aset
|
Apabila jumlah
pajak yang telah dibayar untuk periode kini dan periode-periode sebelumnya
melebihi jumlah pajak yang terutang untuk periode-periode tersebut,
selisihnya diakui sebagai aset
|
7.
|
h.9 p.13 b.9
|
Apabila kerugian
pajak digunakan untuk memulihkan pajak kini dari periode sebelumnya, maka
entitas mengakui manfaat tersebut sebagai aset …
|
Apabila kerugian
pajak digunakan untuk memulihkan pajak kini dari periode sebelumnya, entitas
mengakui manfaat tersebut sebagai aset …
|
8.
|
h.9 p.14 b.30
|
Namun, untuk
perbedaan temporer kena pajak terkait dengan investasi pada entitas anak,
cabang dan entitas asosiasi, dan bagian partisipasi dalam
|
Namun, untuk
perbedaan temporer kena pajak terkait dengan investasi pada entitas anak,
cabang dan entitas asosiasi, dan bagian partisipasi dalam
|
9.
|
h.10 p.15 b.30
|
Untuk memulihkan
jumlah tercatat 100, maka entitas harus memperoleh laba kena pajak
sebesar 100
|
Untuk memulihkan
jumlah tercatat 100, entitas harus memperoleh laba kena pajak sebesar 100
|
10.
|
h.11 p.16 b.17
|
…apabila
penyusutan menurut pajak lebih lambat dibanding penyusutan menurut akuntansi,
maka
timbul perbedaan temporer dapat dikurangkan dalam penghitungan laba kena
pajak…
|
…apabila
penyusutan menurut pajak lebih lambat dibanding penyusutan menurut akuntansi,
timbul perbedaan temporer dapat dikurangkan dalam penghitungan laba kena
pajak…
|
11.
|
h.12 p.18 b.24
|
…apabila jumlah
tercatat aset disesuaikan ke nilai wajarnya tetapi dasar pengenaan pajak aset
tersebut tetap sebesar harga perolehan sebelumnya, maka timbul perbedaan temporer
yang mengakibatkan timbulnya liabilitas pajak tangguhan
|
…apabila jumlah
tercatat aset disesuaikan ke nilai wajarnya tetapi dasar pengenaan pajak aset
tersebut tetap sebesar harga perolehan sebelumnya, timbul perbedaan temporer
yang mengakibatkan timbulnya liabilitas pajak tangguhan
|
12.
|
h.15 p.21 b.27
|
Jika entitas
selanjutnya mengakui kerugian penurunan Rp20 atas goodwill tersebut, maka jumlah
perbedaan temporer kena pajak berkaitan pada goodwill berkurang dari Rp100
menjadi Rp80
|
Jika entitas
selanjutnya mengakui kerugian penurunan Rp 20 atas goodwill tersebut, jumlah
perbedaan temporer kena pajak berkaitan pada goodwill berkurang dari Rp 100
menjadi Rp 80
|
13.
|
h.15 p.22 b.6
|
Apabila jumlah
tercatat goodwill pada akhir tahun akuisisi tetap sebesar Rp100, maka perbedaan
temporer kena pajak adalah Rp20 ditimbulkan pada akhir tahun tersebut
|
Apabila jumlah
tercatat goodwill pada akhir tahun akuisisi tetap sebesar Rp100, perbedaan
temporer kena pajak adalah Rp20 ditimbulkan pada akhir tahun tersebut
|
14.
|
h.15 p.22 b.9
|
Karena perbedaan
temporer kena pajak tidak terkait pada pengakuan awal goodwill, maka hasil
liabilitas pajak tangguhan diakui.
|
Karena perbedaan
temporer kena pajak tidak terkait pada pengakuan awal goodwill, hasil
liabilitas pajak tangguhan diakui.
|
15.
|
h.15 p.23 b.31
|
apabila
transaksi tersebut mempengaruhi baik laba akuntansi maupun laba kena pajak, maka entitas
mengakui aset atau liabilitas pajak tangguhan dan mengakui beban atau
penghasilan pajak tangguhan dalam laporan laba rugi …
|
apabila
transaksi tersebut mempengaruhi baik laba akuntansi maupun laba kena pajak,
entitas mengakui aset atau liabilitas pajak tangguhan dan mengakui beban atau
penghasilan pajak tangguhan dalam laporan laba rugi …
|
16.
|
h.16 p.23 b.16
|
Selama entitas
memulihkan jumlah tercatat aset, maka entitas akan menghasilkan penghasilan
pajak sebesar 1.000 dan membayar pajak sebesar 400
|
Selama entitas
memulihkan jumlah tercatat aset, entitas akan menghasilkan penghasilan pajak
sebesar 1.000 dan membayar pajak sebesar 400
|
Ket: h. = halaman; p.
= paragraf; dan b. = baris
3. Penggunaan kata penghubung “…mana…” yang
tidak tepat dalam anak kalimat karena dalam tata bahasa Indonesia tidak dikenal
dengan kata penghubung “di mana” atau
“yang mana”. Beberapa contoh penggunaan kata penghubung yang kurang tepat
terlihat pada tabel berikut:
No
|
Halaman, Paragraf & baris
|
Kalimat yang tertulis
|
Kalimat seharusnya
|
1.
|
h.27 p.50 b.37
|
Apabila tarif
pajak yang berlaku berbeda untuk tingkat laba kena pajak yang berbeda, maka
aset dan liabilitas pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata-rata yang
diharapkan terhadap laba kena pajak (rugi pajak) pada periode dimana perbedaan temporer
diharapkan terpulihkan
|
Apabila tarif
pajak yang berlaku berbeda untuk tingkat laba kena pajak yang berbeda, aset
dan liabilitas pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata-rata yang
diharapkan terhadap laba kena pajak (rugi pajak) pada periode ketika
perbedaan temporer diharapkan terpulihkan
|
2.
|
h.40 p.79 b.7
|
entitas kena
pajak berbeda yang bermaksud untuk memulihkan aset dan liabilitas pajak kini
dengan dasar neto, atau merealisasikan aset dan menyelesaikan liabilitas
secara bersamaan, pada setiap periode masa depan yang mana jumlah
signifikan atas aset atau liabilitas pajak tangguhan diharapkan diselesaikan
atau dipulihkan
|
entitas kena
pajak berbeda yang bermaksud untuk memulihkan aset dan liabilitas pajak kini
dengan dasar neto, atau merealisasikan aset dan menyelesaikan liabilitas
secara bersamaan, pada setiap periode masa depan ketika jumlah signifikan
atas aset atau liabilitas pajak tangguhan diharapkan diselesaikan atau
dipulihkan
|
3.
|
h.40 p.81 b.26
|
Pada keadaan
tersebut, jadwal rinci mungkin diperlukan untuk meyakinkan apakah liabilitas
pajak tangguhan dari satu entitas kena pajak akan menghasilkan peningkatan
pembayaran pajak pada periode yang sama dimana aset pajak tangguhan dari entitas
kena pajak lainnya akan menghasilkan pengurangan pembayaran pajak oleh
entitas kena pajak kedua.
|
Pada keadaan
tersebut, jadwal rinci mungkin diperlukan untuk meyakinkan apakah liabilitas
pajak tangguhan dari satu entitas kena pajak akan menghasilkan peningkatan
pembayaran pajak pada periode yang sama ketika aset pajak tangguhan dari entitas
kena pajak lainnya akan menghasilkan pengurangan pembayaran pajak oleh
entitas kena pajak kedua.
|
4.
|
h.43 p.87 b.38
|
jika suatu
kombinasi bisnis di mana entitas adalah pihak pengakuisisi yang
menyebabkan perubahan pada jumlah diakui untuk aset pajak tangguhan
praakuisisi (lihat paragraf 71), jumlah perubahan tersebut
|
jumlah perubahan
aset pajak tangguhan yang terjadi dalam suatu kombinasi bisnis jika kombinasi
bisnis yang
entitas menjadi pihak pengakuisisinya tersebut menyebabkan perubahan pada
jumlah diakui untuk aset pajak tangguhan praakuisisi (lihat paragraf 71),
Versi IAS 12:
if a business
combination in which the entity is the acquirer causes a change in the amount
recognised for its pre-acquisition deferred tax asset (see paragraph 67), the
amount of that change (lihat p.81 IAS 12)
Penjelasan:
Yang perlu
diungkapkan secara terpisah adalah jumlah perubahan aset pajak tangguhan yang
terjadi dalam suatu bisnis kombinasi jika entitas menjadi pengakuisisinya.
|
5.
|
h.44 p.88 b.17
|
entitas telah
mengalami kerugian pada periode kini atau periode sebelumnya dimana
aset pajak tangguhan terkait.
|
entitas telah
mengalami kerugian pada periode kini atau periode sebelumnya yang
aset pajak tangguhan terkait dengan periode tersebut
Versi IAS 12:
the entity has
suffered a loss in either the current or preceding period in the tax
jurisdiction to which the deferred tax asset relates (p.82)
|
6.
|
h.45 p.91 b.6
|
Seringkali,
tarif yang sangat berguna adalah tarif pajak domestik di negara di mana
entitas berdomisili
|
Seringkali,
tarif yang sangat berguna adalah tarif pajak domestik di negara tempat
entitas berdomisili
|
7.
|
h.47 p.95 b.26
|
Contoh kasusnya
di mana entitas memiliki entitas anak di luar negeri dalam jumlah banyak.
|
Contoh kasusnya
adalah entitas yang memiliki entitas anak di luar negeri dalam jumlah banyak.
|
8.
|
h.48 p.97 b.26
|
Hal yang sama
juga terjadi, di
mana perubahan pada tarif pajak atau peraturan pajak ditetapkan
atau diumumkan setelah periode pelaporan, maka entitas mengungkapkan adanya dampak signifikan …
|
Hal yang sama
juga terjadi, ketika perubahan pada tarif pajak atau peraturan pajak
ditetapkan atau diumumkan setelah periode pelaporan, entitas mengungkapkan
adanya dampak signifikan …
|
9.
|
h.52 p.01 b.12
|
Pihak peminjam
mencatat pinjaman pada saat pendapatan diterima (yang mana setara dengan jumlah pada
saat jatuh tempo) dikurangi biaya transaksi
|
Pihak peminjam
mencatat pinjaman pada saat pendapatan diterima (yang setara dengan jumlah
pada saat jatuh tempo) dikurangi biaya transaksi
|
Ket: h. = halaman; p.
= paragraf; dan b. = baris
4. Penggunaan kata depan “di” pada “dimuka”
seharusnya terpisah sehingga tertulis “di muka”. Ini karena kata “di” pada kata
tersebut bukan merupakan awalan, tapi kata depan. Lihat paragraf 07, 101, dan 102.
Komentar di atas adalah bertujuan untuk lebih
menyempurnakan ED PSAK 46 (Revisi 2010), namun alangkah baiknya bila hal ini
dikonsultansikan dengan pihak yang lebih memahami masalah penggunaan bahasa
Indonesia.
Penutup
Jakarta, 26
Oktober 2010
Disampaikan oleh,
Pengurus Pusat
IKPI
Sumber : www.ikpi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar